Sang Tertuduh dan Penghakiman Sepihak di Media Sosial

KH ROSYADI
Walau kemudian sang tertuduh mencoba membela diri dengan berbagai argumen logis dan valid, bahkan menunjukkan bukti-bukti dirinya kooperatif saat diminta keterangan oleh lembaga yang mengusut kasus tersebut, netizen seolah bergeming. “Stempel” bersalah itu bak telah tertancap di dahi sang tertuduh dan sulit dicabut kembali.
Konten atau narasi di medsos memang tergolong ampuh untuk menyulut emosi publik. Sebuah postingan yang mampu mengaduk-aduk emosi adalah bara yang siap mengobarkan kemarahan.
Penelitian yang dilakukan Ferrara (2015) dan Ferrara dan Yang (2015) mengonfirmasi betapa mudahnya membakar emosi orang melalui postingan media sosial. Postingan medsos yang dikemas dengan narasi emosional hampir selalu berhasil dalam memicu perasaan yang sama bagi pembacanya.
Pemviralan konten tentang sebuah kasus pelecehan seksual secara “berat sebelah” ibarat menyiram "bensin" kemarahan netizen sehingga melegitimasi penghakiman sepihak oleh publik.
Jika di zaman jaya-jayanya media cetak para wartawan akrab dengan istilah trial by the press (penghakiman oleh pers), maka yang terjadi di jagad digital saat ini sebetulnya tak terlalu jauh berbeda.
Hanya saja, jika dulu pelaku penghakiman sepihak hanyalah kelompok media ataua pewarta, saat ini penghakiman sepihak dilakukan secara kolaboratif oleh pembuat konten dan netizen konsumen medsos.
Dampak dari trial by the social media (penghakiman oleh medsos) yang merajalela saat ini bahkan bisa lebih merusak dari trial by the press. Apabila penghakiman sepihak oleh content creator dan netizen terhadap seorang tertuduh ternyata terbukti keliru di pengadilan, tak ada kewajiban bagi mereka yang telah menularkan emosi di medos untuk memuat hak jawab atau hak koreksi dari sang tertuduh.
Informasi keliru yang sudah kadung meracuni publik pun tak bisa sekonyong-konyong mereka luruskan. Perlu waktu panjang untuk membersihkan puing-puing kehancuran yang disebabkan oleh penghakiman sepihak di jagad maya.
Dalam kacamata ajaran moral atau agama, penghakiman sepihak apalagi disertai caci maki dan sumpah serapah kepada orang lain hanya berdasarkan sebuah versi informasi tanpa disertai infromasi pembanding bukanlah bentuk akhlak yang baik. Menyematkan “stempel” bersalah pada orang yang belum jelas letak kesalahannya, merupakan kezaliman.
Read more info "Sang Tertuduh dan Penghakiman Sepihak di Media Sosial" on the next page :
Editor :Puspita