Isu Eskploitasi Ekonomi Anak dalam Dunia Pendidikan

AKUAT SUPRIYANTO, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran Bandung.
Menurut hemat penulis, polisi perlu memasukkan berbagai pertimbangan sebelum melangkah jauh dalam mengusut kasus ini. Apalagi, UU Perlindungan Anak tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai hal-hal apa saja yang tercakup dalam pengertian eksploitasi ekonomi terhadap anak yang ncaman hukumannya 10 tahun dan dendanya mencapai 200 juta rupiah itu.
Pasal 76 I Undang-Undang 35 tahun 2014, yang menjadi dasar pelaporan oleh alumni-alumni SMA SPI, menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, bahkan turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan atau seksual terhadap Anak”.
Tetapi, apakah konsep dan praktik pendidikan life skills masuk dalam cakupan pengertian tersebut, itu yang harus ditelisik secara seksama oleh aparat hukum yang saat ini sedang “ditarik-tarik” untuk masuk ke ranah konseptual dalam penyelenggaraan pendidikan.
Ketidakcukupan definisi hukum mengenai cakupan eksploitasi ekonomi terhadap anak perlu dijernihkan terlebih dulu secara filosofis. Tanpa mengurai makna eskploitasi dan eksploitasi ekonomi secara jelas, maka akan sulit mencari benang merah atas berbagai fragmen dalam tuduhan tersebut.
Pengertian eksploitasi ekonomi terhadap anak harus dirujuk pada konsep eksploitasi (exploitation) yang berarti pemanfaatan obyek secara sewenang-wenang. Dalam definisi eksploitasi, tujuan dari perlakuan sewenang-wenang atau berlebihan terhadap individu atau kelompok adalah kepentingan ekonomi oleh pihak tertentu.
Predikat kesewenang-wenangan menjadi penting; perlakukan eksploitatif kerap dilakukan tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.
Dari pengertian tersebut, muncul pertanyaan penting terkait tuduhan para alumni SMA SPI. Apakah dalam mengerjakan berbagai “praktik kerja” seperti menjual kripik atau membersihkan jalan itu mereka dalam keadaan dipaksa dengan tekanan dan tidak mendapatkan imbal balik apapun? Ini harus jelas.
Jika para alumni merasa bahwa imbal balik itu ada, namun mereka merasa bahwa imbal balik yang mereka terima (sekolah gratis, tinggal dan makan gratis di asrama, kesempatan berkarir setelah lulus, dll) tak sebanding dengan apa yang mereka hasilkan, maka aparat hukum mau tak mau harus menginvestigasi klaim mereka terkait nilai objek.
Read more info "Isu Eskploitasi Ekonomi Anak dalam Dunia Pendidikan " on the next page :
Editor :Puspita