Refleksi Pendidikan Bagi Anak Ditengah Persimpangan Zaman

Drs. Mulyono, jurnalis senior Malang Raya yang juga Praktisi Akademisi.
Sebagaimana Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, pendiri Perguruan Taman Siswa, yang meninggalkan falsafah pendidikan Adi luhung, *Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani*.
Sebuah falsafah pendidikan yang sangat dahsyat, apakah semua Guru mengetahui maknanya? atau jangan-jangan hanya bisa berucap tanpa makna.
*Jadilah orang yang di depan (atau di atas sebagai pejabat) yang bisa menjadi contoh (bukan sekedar memberi contoh, jadilah kalau kita di tengah (ibarat sebagai bukan pejabat) harus bisa membangun kemauan, punya inisiatif, punya etos kerja, dan jika kita ada di belakang (ini yang bermakna tukang Among, sebagai pendidik) hendaknya kita memberi kekuatan, memberi motivasi, memberi bekal pengetahuan untuk kekuatan kepribadian setiap orang*. Itulah makna sebenarnya yang harus kita renungkan dan kita aktualisasikan dalam kehidupan masing-masing dari kita.
Zaman telah memasuki persimpangan yang mengharuskan kita bisa memilih ke arah manakah kita dan anak-anak kita harus melangkah. Peradaban dunia telah memasuki masa dimana keberadaan manusia telah terancam secara langsung oleh keberadaan *Artificial Intelligence* yaitu Kecerdasan Buatan manusia yang sudah di depan mata kita. Segalanya serba automatically serba otomatis!
Para Pendidik sudah jenuh mendidik siswanya, terbukti mereka menggunakan sarana teknologi secara berlebihan ketika proses pembelajaran. Guru menggunakan *Aplikasi program komputer* yang seharusnya bersifat positif dengan mempermudah sistem penalaran dalam penyerapan materi pelajaran malah menjadi negatif, karena kenyataannya ketika Guru menyajikan materi ajar menggunakan LCD proyektor, malah sang Guru hanya duduk manis di kursi bahkan ada yang ditinggal keluar dari kelasnya untuk kepentingan yang lain.
Ada lagi fenomena Guru memberi tugas diskusi kelas kepada kelompok siswa, alih-alih sang Guru mendampingi dan memberi arahan, justru sebaliknya, malah Guru meninggalkan begitu saja siswanya yang berdiskusi kelas. Pada akhirnya sistem pembelajaran menjadi tidak terkontrol dengan baik sebagaimana rencana ajar.
Banyak lagi fenomena sumbang yang terjadi di sekolah anak-anak kita, meskipun ada juga Guru dan sekolah yang masih berpegang pada visi dan misi pendidikan di sekolahnya.
Kalau kita sebagai orangtua sudah tidak mempedulikan anak kita, kalau kita sebagai Guru sudah melupakan fungsi kita sebagai pendidik bahkan kita tidak lebih dari sekedar kepanjangan tangan dari Google saja di dalam kelas, dan masyarakat kita begitu tega memberikan pengalaman buruk dan negatif kepada anak-anak kita, pertanyaannya adalah *Apakah itu yang dimaknai dengan pendidikan yang disebut Among*...??
Salam Pendidikan, salam asah, asih, asuh dengan mengasah pola pikir, mengasihi, dan mengasuh anak kita, niscaya merek akan menjadi tiang negara. Pendidikan yang diadakan dengan sistematika pengajaran itulah yang terjadi di sekolah.
Sebenarnya ada istilah *Pendidikan Formal* yaitu sekolah dan *Pendidikan Non-formal* yaitu semacam kursus seperti kursus bahasa, kursus tari dan lain-lain. Pendidikan non formal biasanya kita lakukan untuk menambah keilmuan dan ketrampilan anak-anak kita.
Catatan Redaksi: Drs. Mulyono adalah jurnalis senior Malang Raya yang juga Praktisi Akademisi.
Read more info "Refleksi Pendidikan Bagi Anak Ditengah Persimpangan Zaman" on the next page :
Editor :Puspita